k3 dalam pembangunan infrastruktur

Pentingnya K3 dalam Pembangunan Infrastruktur

K3 Dalam Pembangunan Infrastruktur – K3 mendorong tersedianya tempat kerja yang aman dan nyaman bagi pekerja. Hanya saja, belum semua perusahaan mewajibkan standar peralatan K3 dan sistem manajemen K3.

Kurun waktu beberapa tahun terakhir, pemerintah tengah gencar membangun infrastruktur di berbagai wilayah. Pemerintah menekankan pentingnya mencegah kecelakaan kerja dalam proyek pembangunan infrastruktur itu. Menteri Ketenagakerjaan, M Hanif Dhakiri mengingatkan UU No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjan mengamanatkan setiap pekerja berhak mendapat perlindungan, salah satunya program keselamatan dan kesehatan kerja (K3).

Hanif menyebutkan salah satu tujuan K3 mendorong dunia usaha dan industri menjadi lebih manusiawi, dengan cara menyediakan tempat kerja yang aman dan nyaman bagi pekerja. “Jangan sampai pembangunan infrastrukur ini diwarnai dengan kecelakaan kerja oleh masalah-masalah yang terkait K3 di seluruh sektor konstruksi,” katanya belum lama ini di Bekasi.

Selaras itu, UU Ketenagakerjaan mewajibkan setiap perusahaan menerapkan sistem manajemen K3 yang terintegrasi dengan sistem manajemen perusahaan. Perusahaan yang tidak melaksanakan aturan ini dapat dikenakan sanksi administratif. Sanksi administratif ini berupa teguran; peringatan tertulis; pembatasan kegiatan usaha; pembekuan kegiatan usaha; pembatalan persetujuan; pembatalan pendaftaran; penghentian sementara sebagian atau seluruh alat produksi; dan pencabutan izin.

Dia mengatakan salah satu bentuk komitmen untuk mendukung pembangunan infrastruktur yaitu memastikan sistem manajemen K3 di seluruh tempat kerja berjalan baik. K3 harus diperkuat dengan melibatkan semua pihak mulai dari dunia usaha, serikat buruh, dan masyarakat di sekitar lingkungan kerja agar memiliki kesadaran K3.

“Pekerjaan itu penting, tapi keselamatan lebih penting. Produktivitas itu penting, tetapi memastikan pekerja memiliki lingkungan kerja yang aman dan nyaman itu lebih penting,” tegas Hanif.

Melansir data BPS, Hanif menghitung ada 8,3 juta pekerja sektor konstruksi atau 6,7 persen dari jumlah penduduk Indonesia. Jumlah itu menurut Hanif cukup besar. Karenanya, semua pihak penting membangun kesadaran K3. Pihak perusahaan perlu memastikan standar K3 telah diterapkan dengan baik sesuai standar atau peraturan.

“Para pekerja juga diharapkan memahami masalah K3 ini dengan sebaik-baiknya. Sehingga bisa menghindarkan diri dari resiko-resiko yang timbul akibat pekerjaan ataupun penyakit akibat kerja,” ujar Hanif.

K3 mendorong tersedianya tempat kerja yang aman dan nyaman bagi pekerja. Hanya saja, belum semua perusahaan mewajibkan standar peralatan K3 dan sistem manajemen K3.

Sebelumnya, mengacu data BPJS Ketenagakerjaan, Hanif mencatat selama 2018 ada 157.313 kasus kecelakaan kerja. Sebagai upaya menekan kasus kecelakaan dan penyakit akibat kerja, Kementerian Ketenagakerjaan telah menetapkan berbagai program. Antara lain meningkatkan pengawasan bidang K3 dalam pembinaan dan pemeriksaan serta penegakan hukum.

Lalu, meningkatkan kesadaran pengusaha, tenaga kerja dan masyarakat, sehingga memiliki kompetensi bidang K3. Terakhir, meningkatkan peran asosiasi profesi K3 dan perguruan tinggi dan berperan aktif di forum regional dan internasional terkait K3.

Salah satu bentuk perlindungan bagi pekerja di sektor konstruksi yakni mendapat jaminan sosial yang diselenggarakan BPJS Ketenagakerjaan. Deputi Direktur Bidang Hubungan Masyarakat dan Antar Lembaga BPJS Ketenagakerjaan, Irvansyah Utoh Banja, menjelaskan perlindungan pekerja di sektor proyek pembangunan dilakukan melalui program jasa konstruksi.

Utoh menjelaskan jasa konstruksi adalah layanan jasa konsultasi perencanaan pekerjaan konstruksi, layanan jasa pelaksanaan pekerjaan konstruksi, dan layanan konsultasi pengawasan pekerjaan konstruksi. Perlindungan bagi pekerja konstruksi meliputi Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK) dan Jaminan Kematian (JKM).

“Total peserta terdaftar program ini sebanyak 50 juta orang dengan jumlah peserta aktif 30,5 juta orang,” katanya melalui pesan singkat, Selasa (22/1/2019).

Melansir laman resmi BPJS Ketenagakerjaan, kepesertaan program jasa konstruksi yakni pemberi kerja selain penyelenggara negara pada skala usaha besar, menengah, kecil, dan mikro yang bergerak di bidang usaha jasa konstruksi. Pemberi kerja wajib mendaftarkan pekerjanya baik yang berstatus pekerja harian lepas, borongan, dan perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT) dalam program JKK dan JKM. Nilai kontrak kerja konstruksi yang digunakan sebagai dasar perhitungan iuran tidak termasuk pajak pertambahan nilai (PPN) sebesar 10 persen.

Baca Juga: 

Beragam persoalan K3

Koordinator Advokasi BPJS Watch, Timboel Siregar, berpendapat pekerja di sektor konstruksi rentan mengalami kecelakaan kerja. Sayangnya, belum semua perusahaan menunaikan kewajiban untuk memenuhi standar peralatan K3 dan sistem manajemen K3. Masih ada pengusaha yang melihat hal itu sebagai beban atau biaya yang mengurangi keuntungan perusahaan. Persoalan ini semakin pelik karena petugas belum maksimal melakukan pengawasan K3 sektor konstruksi.

K3 mendorong tersedianya tempat kerja yang aman dan nyaman bagi pekerja. Hanya saja, belum semua perusahaan mewajibkan standar peralatan K3 dan sistem manajemen K3.

Selain itu, masih ada pemberi kerja yang belum mendaftarkan pekerjanya dalam program JKK dan JKM BPJS Ketenagakerjaan. Bahkan, pihak pemerintah daerah yang mengurusi perizinan pelaksanaan konstruksi terlihat tidak ketat mewajibkan pendaftaran program jaminan sosial untuk pekerja konstruksi itu. Pelanggaran K3 juga tidak ditindak tegas.

“Dalam proses pengawasan kerapkali kepala daerah lebih mengutamakan pelaksanaan pengerjaan proyek daripada melakukan pengawasan yang layak,” paparnya.

Menurut Timboel, sosialisasi dan edukasi sistem manajemen K3 penting untuk terus digulirkan pemerintah dan BPJS Ketenagakerjaan. Dengan cara itu diharapkan perusahaan konstruksi bisa menjalankan sistem manajemen K3 dan mendaftarkan seluruh pekerjanya dalam program JKK dan JKM BPJS Ketenagakerjaan. Pengawas ketenagakerjaan perlu bekerja sama dengan BPJS Ketenagakerjaan dalam melakukan pengawasan.

“Penting juga mencocokan data perusahaan konstruksi yang sedang melakukan pekerjaan konstruksi dengan data perusahaan yang sudah mendaftarkan pekerjanya dalam program JKK dan JKM,” usulnya.

Jika upaya persuasif yang dilakukan pengawas tidak mampu mendorong pengusaha untuk menunaikan kewajibannya terkait K3, Timboel mengusulkan petugas pengawas bekerja sama dengan aparat kepolisian. Kerja sama itu perlu dilakukan untuk memastikan terpenuhinya peralatan K3 dan sistem manajemen K3 di lokasi kerja. “Bila tidak patuh juga bisa dibawa ke ranah pidana karena kelalaian pengusaha konstruksi berpotensi terjadinya kecelakaan kerja yang mengancam jiwa pekerja,” tutupnya.

Itulah penjelas kenapa pentingnya K3 dalam pembangunan infrastruktur. HSE Prime membantu perusahaan untuk menjaga K3 di perusahaan agar angka kecelakaan kerja atau penyakit akibat kerja yang terjadi di perusahaan dapat ditekan bahkan dihilangkan melalui penerapan aspek-aspek K3. Bantuan penerapan aspek K3 ini dapat kami berikan melalui program pelatihan k3 konstruksi yang bersertifikasi Kemnaker RI. Untuk informasi lebih lanjut klik disini.

Sumber Artikel: www.hukumonline.com

Menu