Manusia adalah pusat dalam sebuah system kerja. Manusia lah yang membuat unit-unit kerja, merangkainya dengan unit kerja lain yang memiliki berbagai macam fungsi dan tujuan kemudian dengan itu manusia membangun sebuah system kerja. Tanpa adanya manusia, tidak mungkin sebuah sistem kerja dapat berjalan.

Secara teori, manusia memang menjadi pusat dan paling berharga dalam sistem kerja. Namun, pada implementasinya, manusia kadang diumpakan seperti mesin atau bahkan tidak lebih berharga dibandingkan mesin.

Secara sederhana, manusia kadang mengorbankan orang lain untuk menciptakan sebuah sistem kerja. Misalnya, proses pembuatan sebuah gedung di mana pekerjanya tidak dilengkapi dengan sistem Keselamatan dan Kesehatan Kerja yang baik. Asalkan gedung yang dibangun itu bisa diresmikan tepat waktu, maka semua kaidah-kaidah keselamatan kerja bisa ditabrak.

Dalam tingkat yang lebih rumit, sistem kerja kadang hanya memiliki fokus kepada bisnis dan proses produksi. Manusia “hanya” dianggap sejajar dengan elemen realibilitas mesin yang lain dalam tahap pembuatan instalasi mesin. Artinya, nyawa manusia tidaklah lebih penting dari rusaknya sebuah instalasi.

The Fallible Machine : Mesin yang Dapat Berbuat Salah

Pernyataan “manusia diperlakukan seperti mesin” telah dibahas dalam Buku “Safety I dan Safety II: The Past and Future of Safety Management” yang ditulis oleh Errik Holnagel. Dalam bukunya, Hollnagel menjelaskan bahwa manusia diharuskan untuk menyesuaikan semua aktivitas dalam pekerjaan seperti apa yang ditulis di dalam prosedur dan manusia tidak diizinkan untuk melakukan variasi performa (performance variability) dari prosedur yang ada karena pembuat prosedur percaya bahwa prosedur yang ia buat adalah yang paling benar, sementara yang lain salah.

Lebih lanjut, Hollnagel memberikan istilah kepada manusia sebagai The Fallible Machine (Mesin yang Dapat Berbuat Salah). Manusia memang kadang diperlakukan seperti mesin, ia harus menuruti semua bahasa program mesin yang disebut “prosedur/panduan”, mengerjakan apa sesuai dengan apa yang diminta oleh pembuat mesin yang bernama “bos”, dan penyimpangan apapun dari desain yang diminta dianggap sebagai sebuah kesalahan yang bernamahuman error.

Anggapan di atas sangat jelas digambarkan dalam referensi-referensi keselamatan kerja pada awal perkembangan keselamatan kerja. Heinrich, dalam bukunya berjudul “Industrial Accident Prevention”, menempatkan unsafe acts(perilaku tidak aman) sebagai penyumbang terbesar kecelakaan sebanyak 88%. Pendapat lebih ekstrim dikeluarkan dari Du Pont di tahun 1986 yang menyebutkan bahwa 96% penyebab kecelakaan adalah dari unsafe acts.

penyebab-kecelakaan-dupont

Gambar 1. Penyebab Kecelakaan Versi Dupont

penyebab-kecelakaan-heinrich

Gambar 2. Penyebab Kecelakaan Versi Heinrich

Anggapan unsafe act sebagai penyebab utama dari kecelakaan sama saja dengan menganggap manusia sebagai sumber masalah yang besar. Karena manusia dianggap sebagai sumber masalah, maka perlu diberlakukannya aturan-aturan yang ketat sehingga manusia dapat berjalan sebagaimana mesin yang tunduk terhadap peratura serta tidak diizinkan untuk memiliki variasi performa. Semua variasi performa yang ada kemudian dianggap sebagai sebuah tindakan unsafe act.

Blunt End vs Sharp End

Manusia sebagai the fallible machine muncul karena 2 penyebab, yaitu adanya work as imagined dan work as done.

Work as imagined adalah sebuah pekerjaan yang “seharusnya” dikerjakan. Work as imagined ini ada di dalam pikiran pihak manajemen sebagai pemberi kerja yang memiliki keinginan tertentu pada pekerjanya. Sementara, work as doneadalah pekerjaan yang secara “nyata” dikerjakan oleh para pekerja. Work as done ini dapat berbeda dengan work as imagined karena adanya variasi dalam pelaksanaan sehingga muncul lah variasi performa.

Hollnagel juga memberikan analogi blunt end (sisi tumpul) dan sharp end (ujung tajam) seperti di pensil. Blunt endadalah sisi di mana orang-orang yang membuat work as imagined berada. Mereka tidak terjun langsung ke lapangan kerja namun dapat mengendalikan semua pekerjaan. Sharp end adalah sisi di mana orang-orang yang memiliki work as done bekerja. Seperti ujung pensil, mereka langsung bersentuhan dengan kertas, harus diraut untuk memudahkan menulis, dan berkotor-kotor dengan dirinya sendiri.

sharp-end-vs-blunt-end

Gambar 3. Blunt end VS Sharp End

Adanya jurang antara blunt end dan sharp end membuat manusia sebagai hal yang paling penting bergeser menjadiThe Fallible Machine. Terkadang, orang-orang yang di blunt end tidak memahami secara menyeluruh pekerjaan yang dilaksanakan di sharp end. Blunt end akan mendesain pekerjaan yang sebenarnya tidak dapat dilaksanakan sepenuhnya sharp end sehingga orang-orang sharp end akan terpaksa melakukan penyesuaian performa.

Terkadang, penyesuaian performa pada sharp end berujung pada terjadinya kecelakaan. Meskipun, peluang sukses pada sharp end lebih besar daripada peluang terjadinya kecelakaan, namun sebagian besar orang masih tetap lebih melihat ke peluang terjadinya kecelakaan.

Manusia harusnya dilihat sebagai pembuat keselamatan bukan sebagai penyebab utama kecelakaan. Seperti gambar di atas, 9999 kesuksesan harusnya lebih dilihat daripada 1 kegagalan yang menyebabkan kecelakaan. Model di atas membuat sebuah ironi bahwa meski banyaknya kesuksesan yang manusia buat, tapi manusia tetap dilihat sebagai penyebab kecelakaan.

kegagalan-vs-keberhasilan

Gambar 4. Kegagalan vs Kesuksesan

Kritik pada porsi penyebab kecelakaan dari Heinrich dan Du Pont muncul dari berbagai pihak. Salah satunya adalah dari National Safety Council yang mengajukan angka 87% untuk unsafe act dan 78% untuk mechanical hazard.National Safety Council memberikan angka penyebab kecelakaan yang komprehensif, melihat kecelakaan dari perspektif multiple cause dan tidak terlalu menyalahkan manusia sebagai penyebab kecelakaan.

mechanical-hazard-vs-unsafe-act

Gambar 5. Penyebab Kecelakaan versi National Safety Council

Solusi

Solusi yang ditawarkan dibagi menjadi 4: pemberi kerja, pekerja, pemerintah, dan akademisi.

  • Pemberi Kerja

Tugas terberat pemberi kerja di posisi blunt end adalah membangun value bahwa keselamatan pekerja adalah hal yang sangat penting di tempat kerja. Pemberi kerja harus memperlihatkan value ini dengan menempatkan keselamatan pekerja sebagai prioritas meski dibandingkan dengan banyak hal lain.

Pemberi kerja juga harus menjembatani kesenjangan antara blunt end dengan sharp end dengan lebih melibatkan pekerja untuk membuat peraturan atau panduan dan menyepakati berbagai macam variasi performa yang diizinkan.

Belajar dari tempat kerja penulis, pemberi kerja juga bisa membuat pertemuan 1 hari penuh bersama pekerja guna memberikan kesempatan pada pekerja membuat peraturan keselamatannya sendiri berdasarkan pengalaman mereka di lapangan. Peraturan yang dibuat cukup 15 kalimat saja, namun terus dimonitor oleh pekerja dan rekan-rekannya sendiri. Pemberi kerja hanya sebagai inisiator dan fasilitator saja.

  • Pekerja

Peran pekerja yang paling penting adalah bersifat terbuka untuk kerjasama dan senantiasa memberikan masukan untuk peningkatan keselamatan kerja. Pekerja harus bersifat terbuka terhadap program-program untuk keselamatan kerja dengan bentuk partisipasi aktif mereka dalam program tersebut. Pekerja juga harus memberikan saran atau krtik membangun terhadap program keselamatan kerja yang dinilai memang harus ditingkatkan.

Pada akhirnya, pekerja dituntut untuk tidak melepaskan keselamatan kerja sebagai value dan juga memperhatikan keselamatan kerja dirinya dan rekannya. Pekerja diharapkan mampu menempatkan value keselamatan kerja ini setara atau bahkan lebih tinggi daripada upah yang mereka tuntut untuk meningkat setiap tahunnya.

  • Pemerintah

Pemerintah memegang posisi penting sebagai regulator dan pengawas keselamatan kerja. Sebagai regulator, pemerintah sangat dimungkinkan untuk membuat peraturan guna menciptakan keselamatan kerja yang lebih baik. Pemerintah juga bisa berperan sebagai pengawas keselamatan kerja untuk memastikan penegakkan peraturan keselamatan kerja.

Pemerintah juga bisa memberikan kampanye-kampanye untuk meningkatkan kesadaran akan pentingnya keselamatan di tempat kerja. Program-program kampanye yang sekarang sudah ada sebaiknya terus ditingkatkan dan tidak hanya berada di bulan K3 saja mengingat para pekerja dan pemberi kerja tidak hanya terpapar resiko keselamatan di Bulan K3 saja melainkan di semua bulan di sepanjang tahun.

  • Akademisi

Akademisi berperan strategis dalam meningkatkan keilmuan keselamatan kerja. Para akademisi diharapkan mampu menciptakan karya intelektual yang menyentuh pemberi kerja dan pekerja terkait dengan cita-cita untuk membuat keselamatan kerja sebagai value.

Para akademisi juga bertugas untuk mematahkan mitos-mitos terkait dengan keselamatan kerja. Banyaknya mitos di bidang keselamatan kerja, seperti manusia adalah sumber kecelakaan, harus diluruskan oleh para akademisi agar tidak menjadi hambatan dalam peningkatan keselamatan kerja.

Referensi

Hollnagel,Errik, Safety-I and Safety-II The Past and Future of Safety Management. Cetakan Ke-3. Burlington: Ashgate. 2014.

Howe, Jim, Warning! Behavior-Based Safety Can Be Hazardous to Your Health and Safety Program!. UAW. 2001.

Pardy, Wayne, Heinrich Deconstructed (and Reconstructed): A Safety Revolution in Progress. Banff: Quality Plus Inc. 2013.

Source: katigaku.com

Menu
× Butuh bantuan? klik disini!