Sebuah Budaya keselamatan kerja yang positif adalah ketika keselamatan dan kesehatan kerja(K3) memainkan peran yang sangat penting dan menjadi inti nilai dari mereka yang bekerja di sebuah tempat kerja. Sementara, Budaya keselamatan kerja yang negatif terjadi apabila keselamatan kerja dipandang sebagai sebuah hal yang marginal atau menjadi beban dari unit kerja.

Di dalam sebuah Budaya keselamatan kerja positif yang kuat, setiap orang bertanggung jawab terhadap keselamatan kerja dan menerapkan k3 dalam kehidupan sehari-hari. Setiap orang akan melakukan yang terbaik untuk identifikasi kondisi dan perilaku yang tidak aman serta merasa nyaman untuk melakukan intervensi terhadap hal yang tidak aman itu. Mudahnya, dalam budaya k3 yang kuat setiap pekerja merasa nyaman untuk berjalan ke direktur pabrik atau CEO untuk membicarakan tentang masalah-masalah keselamatan kerja.

Berikut adalah 5 elemen untuk membentuk Budaya keselamatan kerja yang kuat versi International Association of Oil & Gas Producers:

1. Budaya untuk Mencari Informasi (Informed Culture)
Tetap mendapatkan informasi dapat membantu organisasi untuk mencegah ketidakwaspadaan dalam ketiadaan kecelakaan kerja. Organisasi dengan budaya K3 yang kuat selalu waspada dan percaya bahwa kondisi yang aman dapatbermasalah.Jika orang-orang tidak melihat apapun yang bermasalah, mereka akan berasumsi bahwa tidak akan muncul masalah sehingga mereka tidak diharuskan untuk bertindak apapun. Ini adalah hal yang tidak tepat sehingga perlu usaha-usaha untuk mengikis asumsi tersebut.

Oleh karena itu, dalam ketiadaan kejadian kecelakaan kerja dan dalam usaha untuk mempromosikan perhatian keselamatan kerja yang terjadi, sebuah organisasi harus membuat sebuah sistem informasi yang mengumpulkan, menganalisa dan membagikan informasi tentang manusia, technical, organisasi dan faktor lingkungan yang menunjukkan keseluruhan sistem keselamatan kerja. Sayangnya, hal ini tidak semudah untuk melaporkan kecelakaan kerja

Menurut Hopkins, banyak studinya terkait dengan kecelakaan kerja baik mayor ataupun minor, selalu menunjukkan bahwa sebelumnya sudah ada informasi yang telah dilaporkan dan dianalisa, informasi inilah yang menjadi sinyal lemah tentang munculnya kecelakaan kerja suatu saat nanti.

Sebuah organisasi yang berkomitmen untuk mencegah kecelakaan selalu menyadari informasi tersebut dan berusaha untuk mencegahnya serta mengumpulkan informasi lebih banyak. Pekerja dalam budaya tersebut juga didorong untuk melaporkan kondisi tidak aman, bahaya, prosedur yang tidak efektif, proses yang gagal, beberapa alarm, dan lain-lain untuk mencegah potensi kecelakaan.

2. Budaya Melaporkan (Reporting Culture)
Organisasi dalam industri yang beresiko tinggi sedang meningkatkan kepemahaman mereka tentang keselamatan kerja melalui laporan dan investigasi kecelakaan. Keengganan untuk menyelidiki dan berdiskusi tentang kecelakaan dapat mengakibatkan kehilangan peluang untuk mencegah bencana di masa depan dan dapat diterjemahkan sebagai tanda bahwa produksi dihargai lebih daripada keselamatan kerja.

Keengganan untuk melaporkan kecelakaan dapat terjadi ketika proses pelaporan terlalu rumit atau terdapat ketidakpercayaan di antara berbagai macam lapisan dalam organisasi. Ini bisa diatasi dengan memperkenalkan sistem pelaporan di mana identitas dari pelapor hanya diketahui oleh badan yang dipercayai biasanya adalah departemen HSE.

Lebih lanjut, nilai dari pelaporan haruslah terlihat dari aksi perbaikan, penyebaran pelajaran yang dapat diambil dari pelaporan serta umpan balik ke pelapor. Ini membutuhkan sumber daya yang cukup dan kompeten yang siap sedia untuk investigasi kecelakaan secara efektif

Kita tidak mungkin bisa menginvestigasi semua laporan dengan kedalaman analisa yang sama, kita harus bisa untuk memprioritaskan. Parameter berikut harus menjadi kriteria untuk memprioritaskan laporan:

  • Resiko: Menilai keparahan dan frekuensi potensi dari kejadia
  • Peningkatan: Identifikasi potensi tinggi untuk ide peningkatan
  • Tema: Apakah kejadian selalu berulang?

Peningkatan laporan bergantung oleh keterlibatan dari seluruh karyawan untuk menjamin kontribusi dan pelajaran dari proses perbaikan dan peningkatan (improvement). Untuk belajar dengan baik dari sistem pelaporan dan mengembangkan aksi efektif terus berlanjut maka 2 aspek ini harus disadari, aspek ini juga menjadi indikator dari kedewasaan dari budaya K3:

  • Menjamin independensi maksimum dari kecelakaan meskipun hasil investigasi menunjukkan bahwa terdapat ketiadaan kendali dari manajemen
  • Secara aktif melibatkan manajemen lini untuk mengubah rekomendasi menjadi aksi sehingga mereka menjadi terlibat di dalam rekomendasi itu. Ini juga membuat mereka mennyadari peran mereka untuk meningkatkan keselamatan kerja di masa depan

3. Budaya Belajar (Learning Culture)
Budaya belajar adalah sebuah perpanjangan alami dari budaya pelaporan karena sebuah laporan tidak akan bisa efektif kecuali apabila organisasi belajar dari pelaporan yang karyawan buat.

Sebuah organisasi dengan budaya belajar yang kuat akan mengumpulkan informasi dari berbagai macam sumber, mengambil pelajaran yang berguna, membagi pelajaran yang di dapat dan menindaklanjuti proses pengembangan keselamatan kerja. Organisasi pembelajar akan mencari pandangan yang berlawanan untuk mencari kesempatan belajar dengan lebih efektif. Mereka terbuka akan berita yang buruk sehingga informasi tidak “dikecilkan” begitu sampai ke manager. Laporan yang ada merupakan laporan yang valid karena sistem pelaporan berdasarkan kejujuran dan kepercayaan. Karena organisasi secara jelas merespon laporan, karyawan merasa terdorong untuk terus melapor sehingga menghasilkan budaya pelaporan yang efektif.

Organisasi pembelajar sangat sensitive dengan pelajaran dari berbagai macam sumber. Mereka bisa mengambil pembelajaran dari sistem pelaporan internal, analisa root cause yang sistematik hingga belajar dari kecelakaan dari organisasi eksternal

Organisasi pembelajaran memiliki karyawan profesional yang memilki pekerja untuk menganalisa informasi dan mengambil keuntungan dari hasilnya. Karyawan-karyawan ini memiliki ciri:

  • Mengidentifikasi problem dan pelajaran
  • Mengembangkan rencana dengan manager lokasi untuk mengatasi masalah
  • Mengimplementasikan pelajaran yang dapat diambil ke seluruh organisasi

Organisasi pembelajar juga menghindari informasi penting yang hilang bersamaan dengan karyawan mereka yang mundur dari pekerjaan. Hal ini dikarenakan mereka sudah menganalisa, menyimpan, menyebarkan dan membangun informasi-informasi penting ke dalam penerapan yang terus berkelanjutan.

4. Budaya Fleksibel (Flexibility Culture)
Budaya fleksibel dalam sebuah organisasi akan memungkinkan organisasi untuk mempertahankan koordinasi dalam level yang efektif dan perhatian yang tepat mengingat terdapat perbedaan dalam proses pengambilan keputusan karena perbedaan tingkat urgensi dan kehandalan dalam orang-orang yang terlibat.

Budaya fleksibel ditandai dengan kemampuan untuk mengganti struktur organisasional dari hierarki konvensional ke struktur operasional yang lebih setara (flat) tanpa harus kehilangan kualitas dalam pengambilan keputusan. Ciri budaya fleksibel adalah responsif, melibatkan dan beradaptasi serta berfokus pada kemampuan seseorang sebagai sebuah individu untuk terlibat dalam pemecahan masalah ketimbang kemampuan orang tersebut sebagai bagian dari struktur organisasi.

Sangatlah penting bagi sebuah perusahaan untuk menyadari jangkauan kemampuan dari karyawannya dan bagaimana menggunakan skil tersebut ketika diperlukan. Banyak orang yang menghargai kesempatan untuk mempertunjukkan kemampuan mereka dalam organisasi yang pada ujungnya akan membuat budaya fleksibel di perusahaan akan lebih baik lagi.

Organisasi yang ingin mendapat budaya fleksibel harus melatih kemampuan mereka dan mengkaji aksi yang diberikan untuk merespons ancaman dari kejadian, memastikan fleksibilitas structural yang cocok dan efektif. Pada akhirnya budaya fleksibel bercirikan sebagai berikut:

  • Mampu untuk menyesuaikan diri sendiri dalam menghadapi operasi kerja yang cepat dan beberapa bahaya yang muncuk
  • Memiliki kemampuan untuk memodifikasi struktur yang konvensional menjadi struktur yang lebih setara
  • Memiliki tingkat keahlian yang sesuai untuk membuat penilaian dan keputusan

 5. Budaya Adil (Just Culture)
Budaya Adil merupakan sarana yang kuat untuk elemen-elemen lain dalam budaya k3. Harapan yang jelas, implementasi yang konsisten terhadap semua peraturan, proses investigasi yang adil serta respons yang adil terhadap mereka yang melanggar peraturan akan menjadi pesan yang kuat bagi seluruh karyawan tentang hak dan kewajiban mereka yang benar.

Penting untuk sebuah organisasi agar menetapkan batasan-batasan yang tidak jelas. Misalnya pada masalah kekerasan dalam tempat kerja atau kecanduan alcohol, batasan tersebut secara terus menerus bergerak dan dinegosiasi kembali. Bahkan, kasus-kasus pelanggaran yang seharusnya jelas seperti kecanduan narkoba, pengendalian yang dilakukan oleh organisasi dapat bervariasi. Organisasi bisa saja menghukum pencandu narkoba atau justru mengirimnya ke pusat rehabilitasi sebagai bentuk dukungan untuk karyawan dalam keadaan sulit tersebut.

Oleh karena itu, sangatlah penting untuk menetapkan batasan-batasan dalam organisasi dan mengkomunikasikan ke seluruh karyawan serta diterapkan secara konsisten.

Referensi:

International Association of Oil and Gas Producers. (2013, October). Shaping Safety Culture Throgh Safety Leadership. Retrieved June 3, 2015, from International Association of Oil and Gas Producers: http://www.ogp.org.uk/pubs/452.pdf

Source: katigaku.com

Menu